
Jakarta, Nusantara Info: Pemerintah Indonesia resmi menetapkan lima bandar udara (bandara) baru berstatus internasional sebagai bagian dari upaya memperkuat konektivitas nasional dan internasional. Langkah strategis ini dilakukan untuk mendorong pemerataan pembangunan antarwilayah, mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, dan membuka akses pasar global secara lebih merata.
Kebijakan ini merupakan wujud pelaksanaan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, khususnya dalam misi memperluas infrastruktur konektivitas sebagai pendorong pemerataan pembangunan dan integrasi wilayah.
Penambahan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 26 Tahun 2025 dan KM 30 Tahun 2025, yang menjadikan total jumlah bandara internasional di Indonesia sebanyak 22, naik dari sebelumnya 17 bandara sesuai KM 31 Tahun 2024.
Ini Daftar 5 Bandara Baru Berstatus Internasional
Melalui dua keputusan tersebut, lima bandara ditetapkan sebagai bandar udara internasional baru, yaitu:
KM 26 Tahun 2025:
- Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II – Palembang
- Bandara H.A.S. Hanandjoeddin – Bangka Belitung
- Bandara Jenderal Ahmad Yani – Semarang
KM 30 Tahun 2025:
- Bandara Syamsuddin Noor – Banjarmasin
- Bandara Supadio – Pontianak
Pemerataan Akses Udara dan Ekonomi Daerah
Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Lukman F. Laisa, menegaskan bahwa penetapan ini dilakukan secara terukur dan berdasarkan kajian menyeluruh yang mempertimbangkan:
- Potensi angkutan udara internasional,
- Kesiapan infrastruktur dan fasilitas penunjang,
- Kedekatan geografis dengan bandara internasional lain,
- Konektivitas antarmoda transportasi,
- Proyeksi pertumbuhan rute dan lalu lintas penumpang,
- Standar keselamatan, keamanan, dan layanan penerbangan internasional.
“Ini bukan sekadar menambah jumlah bandara internasional. Ini adalah langkah konkret dalam membangun konektivitas udara yang merata, aman, andal, dan berdaya saing,” ujar Lukman.
Status Internasional Harus Berdampak Nyata
Meski disambut sebagai kemajuan infrastruktur transportasi udara, kebijakan ini juga menuai pertanyaan kritis: Apakah semua bandara baru tersebut benar-benar siap mengelola lalu lintas internasional secara efisien? Apakah akan benar-benar mendorong aktivitas ekspor, pariwisata, dan investasi, atau sekadar menjadi status administratif tanpa aktivitas signifikan?
Pengamat transportasi menilai, penetapan status internasional harus dibarengi dengan komitmen kuat dari pemerintah daerah, peningkatan kualitas layanan, serta kehadiran maskapai yang membuka rute luar negeri secara konsisten.
“Jangan sampai bandara bersertifikasi internasional justru sepi penerbangan. Status bukan segalanya jika ekosistem pendukungnya tidak dibangun,” ujar salah satu pengamat penerbangan.
Lukman menegaskan bahwa status internasional bukanlah hak permanen. Evaluasi rutin akan dilakukan, termasuk meninjau:
- Volume penumpang dan kargo internasional,
- Frekuensi penerbangan luar negeri,
- Kesiapan layanan imigrasi, bea cukai, dan karantina.
“Jika tidak menunjukkan performa yang sesuai dengan standar, maka status internasional bisa ditinjau kembali. Ini bukan keputusan mutlak yang bersifat tetap,” tegasnya.
Penambahan lima bandara internasional baru menunjukkan ambisi besar pemerintah untuk memajukan konektivitas nasional, tetapi kesuksesan implementasinya bergantung pada kesiapan infrastruktur, kerja sama daerah, dan daya tarik investasi transportasi udara.
Langkah ini bisa menjadi pintu gerbang pertumbuhan ekonomi regional asalkan benar-benar diiringi perencanaan matang, pengawasan ketat, dan komitmen berkelanjutan dari semua pihak. (*)