
Kathmandu, Nusantara Info: Di tengah-tengah kekecewaan terhadap situasi politik yang stagnan dan kondisi ekonomi yang lesu, ribuan warga Nepal menyerukan agar kembali dipimpin oleh raja. Sistem monarki di Nepal telah dihapuskan pada 2008.
Ribuan demonstran memadati Ibu Kota Nepal, Kathmandu, menyerukan agar sistem monarki dikembalikan ke negara Himalaya itu setelah dihapuskan pada 2008. Aksi demonstrasi ini berlangsung pada Kamis (29/5/2025).
Sejak berakhirnya monarki, Nepal telah menjadi negara yang menganut sistem republik yang dipimpin oleh presiden, namun sejumlah masyarakat kini menyerukan agar sistem kerajaan dikembalikan dan menetapkan Hindu sebagai agama resmi negara, di tengah kekecewaan terhadap pemerintahan terpilih saat ini.
Gyanedra Shah, mantan raja yang kaya raya dan masih menetap di Kathmandu, kini berusia 77 tahun. Sistem Monarki telah berlangsung selama 239 tahun di Nepal sebelum Shah digulingkan.
“Kembalikan raja ke tahtanya dan selamatkan negara. Kami mencintai raja kami lebih daripada nyawa kami,” seru para demonstran.
Para demonstran tidak hanya merasa frustasi terhadap para elit politik Nepal, tetapi juga terhadap kondisi ekonomi negara tersebut. Banyak masyarakat Nepal mencari peluang lapangan pekerjaan lebih baik ke luar negeri, seperti Uni Emirat Arab, Korea Selatan, dan Malaysia. Kemudian mereka mengirimkan uang hasil kerja mereka kembali ke kampung halaman dalam bentuk remitansi.
Monarki Tak Mungkin Kembali
Ada juga yang mendukung status Nepal saat ini sebagai Negara Republik dan Perdana Menteri Khadga Prasad Oli di Kathmandu, hanya beberapa meter dari demonstrasi pro-monarki. Ratusan polisi pengendali massa dikerahkan untuk memisahkan massa pro-monarki dan pro-republik di ibu kota Nepal.
Meskipun sebagian masyarakat Nepal menginginkan kembalinya sistem monarki, namun 3 partai politik utama di Nepal yang menguasai sebagian besar kursi di parlemen, menolak ide tersebut.
Selain itu, Partai Rastriya Prajatantra yang mendukung monarki hanya memiliki 13 kursi dari 275 kursi di parlemen, sehingga memiliki pengaruh yang sangat terbatas dalam arah politik nasional. (*)