Kenapa Indonesia Butuh Cukai Minuman Berpemanis? Ini Data dan Fakta Terbarunya

Bagikan

Kenapa Indonesia Butuh Cukai Minuman Berpemanis? Ini Data dan Fakta Terbarunya

Jakarta (6/7/2024): Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berencana mulai mengenakan cukai pada Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) pada tahun ini. Keputusan ini telah tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024. Penggolongan cukai MBDK di Indonesia akan berdasarkan kadar gula atau pemanis yang dikandung, sebuah langkah yang sejalan dengan usulan dari The American Heart Association (AHA).

Setidaknya, ada tiga kategori MBDK yang akan dikenakan cukai. Pertama, MBDK yang mengandung pemanis berupa gula dengan kadar lebih dari 6 gram per 100 ml; kedua, MBDK yang mengandung pemanis alami dalam kadar berapapun; dan ketiga, MBDK yang mengandung pemanis buatan dalam kadar berapapun.

Dilansir dari laman Indonesia.go.id, riset Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan, implementasi cukai minuman berpemanis dapat memberikan dampak ekonomi positif dan mengurangi beban kasus diabetes melitus tipe 2 di Indonesia hingga 2033.

Setelah jantung dan tumor, diabetes merupakan penyakit yang dinilai menjadi penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia. Data Institute for Health Metrics and Evaluation menunjukkan, pada 2019 diabetes melitus menyebabkan sekitar 57,42 kematian per 100.000 penduduk.

Sementara itu, pada 2022, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) jumlah penderita diabetes tipe 1 di RI mencapai 41.817 orang. Angka tersebut membuat Indonesia berada di posisi teratas dibandingkan negara-negara anggota ASEAN.

Seiring dengan meningkatnya prevalensi diabetes, konsumsi gula pun kian melejit. Melansir data dari National Sugar Summit (NSS) yang digelar pada 13 Desember 2023 lalu, konsumsi gula pada akhir tahun lalu mencapai 3,4 juta ton. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak 10 tahun yang lalu atau pada 2013 sebesar 2,61 juta ton.

Guna menekan konsumsi gula, pemerintah menggagas perlunya penerapan cukai atas  Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK). Salah satu alasannya, sebagaimana hasil Riset Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang menyebutkan bahwa implementasi cukai ini dapat memberikan dampak ekonomi positif dan mengurangi beban kasus diabetes melitus tipe 2 di Indonesia hingga 2033.

Maka jauh hari pemerintah sudah memberi sinyal tersebut dan mendapat tanggapan positif dari anggota dewan pada 2020. Dua tahun kemudian, lewat Peraturan Presiden (Perpres) nomor 130 tahun 2022, pemerintah menetapkan target penerimaan cukai MBDK sebesar Rp3,08 triliun dan plastik sebesar Rp980 triliun.

Meski sudah ada Perpres, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), menyatakan masih terus membahas penerapan cukai plastik dan Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK). Bersama Komisi XI DPR RI, para pengusaha, termasuk masyarakat luas, Kemenkeu terus melakukan sosialisasi. Penerapannya, kata Dirjen Bea dan Cukai Askolani, Senin (10/6/2024), akan disesuaikan kondisi di lapangan.

Kemenkeu selanjutnya rutin menggelar sosialisasi dan kampanye tentang cukai dan sekaligus dampak kesehatan yang ditimbulkan MBDK baik di pusat maupun di daerah. Di Jawa Timur, misalnya, Kantor Wilayah (Kanwil) Bea Cukai Jawa Timur I, menggelar sosialisasi aturan cukai, bertajuk “Sosialisasi, Edukasi, dan Pelatihan Kelompok Konsumen tentang Cukai MBDK”, bersama Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Provinsi Jawa Timur di Museum NU Surabaya (17/11/2023).

Target penerimaan cukai MBDK ditetapkan meningkat menjadi Rp4,38 triliun. Tak hanya itu, anggota DPR juga menyetujui usulan pemerintah memasukkan komponen MBDK secara resmi pada Rincian pada Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024. Hal ini dikuatkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 76 tahun 2023.

Keseriusan pemerintah dalam hal ini terlihat pada dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Tahun Anggaran 2025. Pemerintah telah memasukkan kebijakan cukai plastik dan MBDK, untuk mendukung penerimaan negara salah satunya adalah ekstensifikasi cukai dengan penambahan objek cukai baru.

Undang-Undang Cukai nomor 39 tahun 2007 menyebutkan, karakteristik barang yang ditetapkan sebagai barang kena cukai yaitu barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, serta pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan bagi masyarakat yang terdampak serta keseimbangan lingkungan.

Seperti dilaporkan beacukai.go.id, karakteristik ini ditemukan dalam produk MBDK, sehingga tujuan penerapan ketentuan cukainya adalah mendorong pola konsumsi masyarakat yang lebih sehat, mengurangi angka penyakit, mendorong industri untuk mereformulasi produk yang lebih rendah gula, dan mengendalikan produk MBDK.

Baca Juga :  Rise Up: Menuju Indonesia Emas

Pembahasan Cukai MBDK

Penerapan cukai MBDK bukanlah hal baru di dunia. CS. Purwowidhu menuliskan analisisnya dengan judul Menakar Pembatasan Minuman Bergula seperti dikutip mediakeuangan.kemenkeu.go.id. Mengutip publikasi Ringkasan Kebijakan Urgensi Cukai MBDK di Indonesia yang disadur oleh CISDI pada 2022, terdapat 49 negara yang telah menerapkan cukai MBDK, termasuk beberapa negara berpenghasilan menengah.

Hasil penerapannya, dengan cukai MBDK sebesar 20%, diprediksi dapat menurunkan konsumsi MBDK sebesar 24%. Di kawasan Asia Tenggara sendiri, sudah ada empat negara yang menerapkan cukai MBDK yakni Thailand dan Brunei sejak 2017, Filipina sejak 2018, dan Malaysia sejak 2019.

Namun, salah satu kesuksesan cukai MBDK dapat dilihat pada pengalaman Meksiko. Sebagai salah satu negara dengan asupan minuman manis tertinggi di dunia, pada 2014 Meksiko mulai menerapkan pengenaan cukai MBDK sebesar 10%.

Kebijakan itu berdampak pada menurunnya konsumsi MBDK sebesar 37% pada periode 2012–2016. Akibat sampingannya, otomatis ini meningkatkan penjualan air minum dalam kemasan (AMDK) dan minuman lain yang tidak terkena cukai.

Di samping penurunan konsumsi, pengenaan cukai MBDK juga akan mendorong industri menurunkan kandungan gula dalam produknya. Seperti halnya yang terjadi di Inggris dan Portugal. “Dan yang terpenting, berkurangnya konsumsi MBDK pada akhirnya akan berkontribusi bagi perbaikan kesehatan masyarakat dalam jangka panjang seiring menurunnya faktor risiko penyakit tidak menular,” tulis Purwowidhu.

Lebih lanjut mengutip CISDI, studi pemodelan di Thailand menunjukkan cukai MBDK sebesar 20% dan 25% dapat menurunkan prevalensi obesitas berturut-turut sebesar 3,83% dan 4,91%.

Bagaimana dengan Indonesia sendiri?  Riset pemodelan di Indonesia yang mengasumsikan cukai MBDK sebesar Rp5.000 per liter diproyeksi dapat mencegah hingga 1,5 juta kasus diabetes dalam jangka 25 tahun ke depan. Besaran yang sama juga menekan kasus stroke dan penyakit jantung iskemik.

Poin Penting Cukai MBDK

  1. Cukai MBDK adalah instrumen fiskal yang berpotensi memberikan beberapa keuntungan bagi masyarakat.
  2. Mengurangi konsumsi minuman berpemanis, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan masyarakat
  3. Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mengurangi konsumsi gula
  4. Menambah pemasukan negara dengan perkiraan kontribusi sebesar Rp2,44 triliun hingga Rp3,62 triliun
  5. Mengurangi beban kasus diabetes di Indonesia

Fakta Kasus Diabetes di Asia Tenggara

  • Sebanyak 108 juta orang dewasa tercatat menderita diabetes pada 1980-an dan jumlah tersebut naik 4 kali lipat menjadi 415 juta orang pada 2015. Pada 2040 diperkirakan jumlahnya akan menjadi 642 juta (IDF Atlas 2015)
  • Hampir 80% orang diabetes ada di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
  • Jumlah penderita diabetes mencapai 8,5% pada 2015. Artinya ada 1 di antara 11 orang menyandang diabetes.
  • Salah satu beban pengeluaran kesehatan terbesar di dunia adalah diabetes yaitu sekitar USD612 miliar, diperkirakan sekitar 11% dari total pembelanjaan kesehatan dunia pada 2013
  • Persentase kematian akibat diabetes di negara anggota SEARO: Sri Langka 7%, Indonesia 6%, Thailand 4%, Nepal 3%.
  • Terdapat 96 juta orang dewasa dengan diabetes di 11 negara anggota di wilayah regional Asia Tenggara pada 2014. Setengahnya tidak terdiagnosis dengan diabetes. Prevalensi diabetes di antara orang dewasa di wilayah regional Asia Tenggara meningkat dari 4,1% di 1980-an menjadi di 2014.
  • Sekitar 1 juta orang dewasa di Asia Tenggara meninggal karena gula darah tinggi. Termasuk di dalamnya kematian akibat langsung diabetes (contoh koma diabetikum), maupun kematian karena komplikasi diabetes, seperti gagal ginjal, penyakit jantung dan pembuluh darah maupun tuberkulosis pada 2012.
  • Lebih dari 60% laki-laki dan 40% perempuan dengan diabetes meninggal sebelum berusia 70 tahun di Asia Tenggara.
  • Populasi Asia Tenggara secara genetik memang rentan terhadap faktor diabetogenik lingkungan, sehingga memiliki ambang lebih rendah terhadap faktor risiko seperti usia, kelebihan berat badan dan distribusi lemak tubuh.
  • Diabetes terjadi 10 tahun lebih cepat di Asia Tenggara daripada orang-orang dari Eropa, pada usia di mana merupakan masa paling produktif. (*)
Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait