
Jakarta, Nusantara Info: Papua bukan hanya kaya akan keindahan alam, tetapi juga menyimpan ragam tradisi yang telah hidup ratusan tahun lamanya. Salah satu tradisi yang begitu melekat dalam keseharian masyarakatnya adalah mengunyah buah pinang. Dari anak-anak hingga orang tua, dari pesisir hingga pegunungan, kebiasaan ini diwariskan lintas generasi dan masih bertahan hingga kini.
Sejarah Panjang Tradisi Pinang
Tradisi mengunyah pinang di Papua telah berlangsung sejak 3.000 tahun lalu. Pada awalnya, pinang hanya dinikmati oleh penduduk di pesisir, diperkenalkan oleh manusia berbahasa Austronesia yang singgah di Papua. Namun, seiring perkembangan transportasi darat maupun udara, tradisi ini meluas hingga ke daerah pegunungan seperti Wamena dan Enarotali, meski pohon pinang tak tumbuh di dataran tinggi.
Para pekerja pesisir yang merantau ke kota besar kerap membawa pinang sebagai oleh-oleh, membuat tradisi ini terus hidup di mana pun orang Papua berada.
Bagi masyarakat Papua, pinang bukan hanya sekadar buah. Mengunyah pinang menghadirkan sensasi khas: perpaduan rasa asam-manis yang unik, ditambah kombinasi kapur dari cangkang kerang serta batang sirih untuk menetralkan getahnya. Dari kunyahan itu tercipta cairan merah pekat yang diludahkan ke tanah, dipercaya menyuburkan alam sekitar.
Di balik rasanya yang kuat, pinang dipercaya memiliki khasiat menjaga kesehatan gigi dan gusi. Tak sedikit orang tua Papua yang masih memiliki gigi utuh meski berusia di atas 80 tahun. Lebih dari itu, pinang menjadi simbol persaudaraan. Dalam pesta pernikahan hingga acara duka, suguhan pinang adalah tanda penghormatan sekaligus perekat kebersamaan.
Ritual Sehari-Hari
Proses mengunyah pinang pun memiliki ritual sederhana. Dimulai dengan mengupas buah menggunakan gigi, lalu mengunyah biji hingga hancur. Setelah itu batang sirih dicelupkan ke bubuk kapur, lalu digabungkan dengan pinang dalam mulut. Sensasi getir, pedas, dan sepat berubah menjadi pengalaman khas yang sulit ditemui di luar Papua.
Tak heran jika anak-anak Papua telah mengenal pinang sejak usia tujuh tahun. Dari sana, tradisi ini terus menyertai mereka hingga akhir hayat.
Di jalan-jalan Jayapura hingga sudut desa kecil, mudah ditemui pedagang yang menjajakan paket pinang, kapur, dan sirih. Dengan harga sekitar Rp10.000 per plastik berisi 10–15 buah, pinang menjadi teman setia masyarakat. Rata-rata, seorang pengunyah pinang bisa menghabiskan 5–10 paket per hari.
Tradisi ini memang berbeda dibandingkan daerah lain di Indonesia, di mana pinang biasanya dikeringkan terlebih dahulu. Di Papua, buah pinang lebih sering dikunyah dalam kondisi segar, menghadirkan cita rasa yang lebih kuat.
Warisan yang Terus Hidup
Mengunyah pinang bukan sekadar kebiasaan, melainkan identitas budaya. Ia adalah simbol dari cara hidup, cara menjaga silaturahmi, sekaligus bentuk penghormatan pada leluhur. Maka jangan heran, ketika berkunjung ke Papua, senyum merah pinang di bibir masyarakat akan menjadi pemandangan yang akrab ditemui.
Tradisi ini menjadi bukti bahwa di tengah arus modernisasi, Papua tetap menjaga warisan budaya yang menjadikannya unik dan istimewa. (*)