Remaja Jerman Kecanduan Media Sosial? Ilmuwan Ungkap Fakta Mengejutkan di Balik Fenomena Ini

Bagikan

Remaja Dilarang Main Medsos? Usulan Politisi Jerman Ini Picu Perdebatan Panas!
Ilustrasi anak-anak remaja menggunakan medsos. (Foto: Istimewa)

Berlin, Nusantara Info: Usulan pelarangan media sosial (medsos) bagi anak di bawah 16 tahun di Jerman memicu perdebatan hangat di kalangan politisi, ilmuwan, hingga masyarakat umum. Ide ini muncul setelah Jens Spahn, politisi senior Partai Uni Demokratik Kristen (CDU), membandingkan efek Instagram dan TikTok pada otak remaja dengan heroin.

Pernyataan itu segera mengguncang ruang publik dan menimbulkan pertanyaan besar: apakah media sosial benar-benar bekerja seperti narkoba di otak anak muda, atau sekadar retorika politik yang berlebihan?

Media Sosial dan “Efek Heroin”: Antara Kepanikan Moral dan Fakta Ilmiah

Menurut Spahn, larangan penggunaan media sosial di bawah usia 16 tahun perlu diberlakukan karena aplikasi seperti TikTok dan Instagram bisa menimbulkan efek adiktif yang serupa dengan zat narkotika. Namun, sejumlah ilmuwan menilai perbandingan tersebut tidak sepenuhnya akurat dan berpotensi menimbulkan kepanikan moral.

Dalam makalah terbaru Akademi Ilmu Pengetahuan Jerman Leopoldina, dijelaskan bahwa sebagian remaja di Jerman memang menunjukkan perilaku menyerupai kecanduan seperti kehilangan kontrol diri, mengabaikan aktivitas sehari-hari, hingga mengalami gangguan kecemasan dan depresi.

Namun, secara medis, “kecanduan media sosial” belum menjadi diagnosis resmi. Bukti ilmiah terkait perubahan otak akibat media sosial masih bersifat terbatas dan tidak sepenuhnya menunjukkan kesamaan dengan efek penggunaan heroin.

Suara Ilmuwan: Media Sosial Tidak Sama dengan Heroin

Psikolog dan pakar kecanduan Prof. Dr. Christian Montag menilai bahwa membandingkan media sosial dengan heroin merupakan simplifikasi berbahaya.

“Diagnosis kecanduan media sosial secara medis belum ada. Studi pencitraan otak belum mampu membuktikan analogi nyata dengan kecanduan heroin. Perbandingan seperti itu lebih menciptakan ketakutan massal ketimbang menjelaskan kompleksitas masalah,” ujarnya.

Montag juga menekankan perlunya kriteria diagnostik yang jelas agar tidak semua perilaku digital dianggap berbahaya. Ia menilai larangan total justru bisa menghambat anak belajar bertanggung jawab dalam penggunaan teknologi.

Pengaruh Media Sosial pada Otak Remaja

Meski belum ada bukti kausal langsung, sejumlah studi menemukan kemiripan pola aktivitas otak antara pengguna media sosial intensif dengan pecandu zat adiktif. Aktivitas berulang seperti menerima like atau komentar baru memicu sistem dopamin pada bagian otak yang mengatur rasa bahagia dan penghargaan.

Baca Juga :  Prediksi Skor Akhir AC Milan vs Atalanta di Serie A Italia 21 April 2025

Area seperti striatum, amigdala, dan korteks cingulate anterior menunjukkan respons mirip dengan yang terjadi pada pecandu narkoba. Pada beberapa remaja, volume materi abu-abu otak yang berperan dalam kontrol emosi dan perilaku tampak menurun, kondisi yang juga dijumpai pada pengguna heroin kronis.

Remaja dengan ADHD (gangguan konsentrasi dan hiperaktivitas) menjadi kelompok paling rentan karena dorongan impulsif dan ketergantungan terhadap stimulus cepat dari layar gawai.

Kecanduan Digital dan Dampak Psikologis

Bukti psikologis menunjukkan bahwa penggunaan media sosial berlebihan bisa menimbulkan hilangnya kontrol, kegelisahan saat tidak online, hingga gangguan tidur dan depresi.

“Aplikasi media sosial memang punya daya tarik besar bagi otak muda. Algoritma, notifikasi, dan sistem penghargaan memicu proses yang mendorong kecanduan,” jelas Prof. Montag.

Namun, menurut para ahli, solusi bukanlah pelarangan, melainkan pendidikan literasi digital dan pembimbingan aktif oleh orang tua.

Dilema Politik dan Etika: Melarang atau Mendidik?

Usulan Spahn menimbulkan dilema: apakah pelarangan sosial media bisa melindungi remaja, atau justru membatasi kebebasan mereka?

Secara hukum, larangan total sulit diterapkan. Digital Services Act Uni Eropa melarang pembatasan yang melanggar hak dasar warga negara. Selain itu, secara teknis hampir mustahil mengontrol akses internet anak secara total.

Akademi Leopoldina pun menolak larangan absolut. Mereka merekomendasikan pendekatan “prinsip kehati-hatian”, yaitu perlindungan anak melalui verifikasi usia digital, pendampingan orang tua hingga usia 15 tahun, serta pendidikan media dan penguatan kompetensi digital di sekolah.

Membandingkan media sosial dengan heroin mungkin retoris, tapi kekhawatiran terhadap dampaknya bukan tanpa dasar. Otak remaja memang masih berkembang dan rentan terhadap sistem penghargaan instan yang ditawarkan aplikasi digital.

Namun, alih-alih melarang, solusi jangka panjang terletak pada pendidikan digital, literasi media, dan pengawasan keluarga yang aktif. Larangan bisa menutup gejala, tapi pendidikanlah yang menyembuhkan akar masalahnya. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait