Darurat Literasi Indonesia: Skor PISA Rendah, Ratusan Siswa Belum Lancar Membaca

Bagikan

Darurat Literasi Indonesia: Skor PISA Rendah, Ratusan Siswa Belum Lancar Membaca
Ilustrasi anak-anak asyik membaca buku, menumbuhkan kebiasaan literasi sejak dini dan membangun imajinasi mereka. (Foto: Istimewa)

Jakarta, Nusantara Info: Tingkat literasi membaca di Indonesia kembali menjadi sorotan setelah berbagai hasil survei internasional menunjukkan posisi yang memprihatinkan. Dalam survei Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018, Indonesia menempati peringkat ke-69 dari 81 negara.

Empat tahun kemudian, penilaian yang dilakukan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) justru menunjukkan penurunan performa. Pada PISA 2022, Indonesia berada di bawah rata-rata global untuk seluruh subjek yang dinilai: literasi membaca hanya mencapai skor 359, matematika 366, dan sains 357. Angka-angka ini menegaskan bahwa persoalan literasi di Indonesia bukan sekadar isu pendidikan, melainkan cermin dari kualitas sumber daya manusia masa depan.

Di tingkat lokal, situasi tersebut terlihat nyata melalui temuan di Kabupaten Buleleng, Bali. Berdasarkan laporan kompas.com, ratusan siswa sekolah menengah pertama (SMP) di daerah itu tidak mampu membaca dengan lancar. Tercatat 208 siswa masuk kategori Tidak Bisa Membaca (TBM), sementara 206 lainnya berada pada kategori Tidak Lancar Membaca (TLM).

Temuan ini mengejutkan, tetapi sekaligus membuka mata bahwa persoalan kemampuan dasar membaca bukan hanya terjadi di jenjang sekolah dasar, melainkan telah merembet hingga SMP. Kasus di Buleleng dapat menjadi puncak fenomena gunung es.

Di banyak wilayah lain, kemungkinan besar kondisi serupa terjadi, namun tidak muncul ke permukaan karena tidak ada penilaian literasi yang dilakukan secara menyeluruh. Padahal, kemampuan membaca merupakan fondasi utama bagi proses belajar. Tanpa kemampuan literasi yang memadai, siswa akan kesulitan memahami materi pelajaran, menganalisis informasi, dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis.

Salah satu persoalan yang turut memperburuk kondisi literasi di Indonesia adalah berubahnya media habit masyarakat. Di sekolah formal, pelajaran membaca dan menulis tidak lagi diberikan secara intensif seperti pada masa lalu. Di saat yang sama, masyarakat disuguhi konten hiburan oleh stasiun-stasiun televisi swasta yang didominasi sinetron dan telenovela bergenre “opera sabun”. Dominasi tayangan semacam ini membuat banyak orang lebih memilih menonton televisi daripada membaca buku. Kehadiran telepon pintar memperparah situasi karena akses hiburan visual kini berada dalam genggaman.

Baca Juga :  Kemenhub Siapkan 520 Bus untuk Mudik Gratis pada Angkutan Lebaran 2025

Masyarakat Indonesia sebenarnya belum masuk dalam tahap reading society, yakni masyarakat yang gemar membaca secara konsisten. Ketika budaya baca belum kuat, masyarakat justru diarahkan menjadi penikmat hiburan visual tanpa basis literasi yang kokoh. Padahal, di negara-negara maju, budaya menonton tumbuh setelah masyarakat terbiasa membaca dan menulis. Menikmati film seharusnya menjadi tahap lanjutan, bukan pengganti aktivitas membaca.

Membaca novel, misalnya, menawarkan pengalaman mendalam yang tidak dapat sepenuhnya diwakili oleh film. Cerita dalam film biasanya telah diringkas dan diolah untuk kepentingan komersial, sehingga pesan yang terkandung di dalam buku asli sering kali tak tersampaikan secara utuh. Di sinilah kekuatan literasi: ia mengembangkan kreativitas, imajinasi, serta kemampuan memahami makna.

Pada penghujung tahun 1960-an, pelajaran membaca dan mengarang masih menjadi bagian penting dalam kurikulum. Murid diajarkan membuat tanda baca melalui “kalimat buta”, menulis cerita, dan menyampaikan kembali gagasan dengan bahasa mereka sendiri. Aktivitas ini bukan sekadar latihan, tetapi cara efektif melatih nalar dan kemampuan berpikir terstruktur. Kini, praktik-praktik semacam itu semakin jarang ditemui di sekolah.

Sudah saatnya pemerintah mengembalikan pelajaran membaca dan menulis (mengarang) ke dalam kurikulum SD, SMP, hingga SMA. Sejumlah negara seperti Australia justru mulai kembali meneguhkan posisi Calistung (membaca, menulis, berhitung) sebagai kemampuan dasar yang wajib dimiliki setiap siswa. Indonesia dapat mengambil langkah serupa untuk memperkuat fondasi literasi generasi penerus.

Selain itu, sekolah harus memperkuat literasi melalui kegiatan resensi buku, diskusi bacaan, serta penyediaan perpustakaan yang memadai. Murid tidak harus membeli buku; meminjam dari perpustakaan sekolah sudah cukup untuk membuka jendela pengetahuan mereka. Dengan dukungan sistem yang baik, literasi bukan hanya kemampuan teknis, tetapi menjadi budaya yang tumbuh dan hidup dalam keseharian siswa. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait