Jakarta, Nusantara Info: Kebijakan pemerintah mengenai efisiensi anggaran berdampak besar terhadap berbagai sektor industri yang memicu terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dilansir dari berbagai sumber, dampak pemangkasan anggaran ini juga membuat dua lembaga penyiaran publik yaitu TVRI dan RRI terpaksa melakuka PHK terhadap para pekerjanya.
Dikutip dari Kontan, salah satu sumber yang enggan menyebutkan namanya mengakui, TVRI melakukan pemangkasan karyawan yang berstatus kontributor se-Indonesia sejak 4 Februari 2025. Hal ini merupakan imbas dari efisiensi anggaran kementerian/lembaga (K/L) mencapai lebih dari 50%, sehingga berdampak pada operasional TVRI.
PHK terhadap sejumlah karyawan TVRI terjadi akibat kebijakan efisiensi anggaran di tingkat kementerian dan lembaga (K/L). Pemangkasan anggaran yang melebihi 50 persen ini berdampak signifikan terhadap keberlangsungan operasional TVRI, menyebabkan keputusan sulit bagi perusahaan dalam mempertahankan tenaga kerja mereka.
Selain TVRI, RRI juga melakukan pengurangan jumlah karyawan kontrak secara massal di seluruh Indonesia. Bahkan, akun Instagram @RRI_Semarang mengumumkan bahwa pemancar AM 801 Khz dan FM 88,2 Mhz dinonaktifkan sementara. Pendengar Pro 4 RRI Semarang kini dialihkan ke kanal streaming RRI Digital mulai Senin (10/2/2025).
Selain itu, kabar PHK di RRI juga dibenarkan oleh salah satu penyiar RRI Pro 2 Ternate dengan akun TikTok Aiinizzaa. Dia menyebut ada ratusan pegawai yang harus mengalami PHK imbas efisiensi anggaran.
“Untuk bapak Presiden, apa yang terjadi kepada kami beberapa hari belakangan ini sangat berat, ada ratusan pegawai di luar sana termasuk saya dan juga teman-teman saya harus merasakan sesuatu yang tidak kami pikirkan ini akan terjadi kepada kami,” kata dia dalam video yang dibagikan di akun TikToknya, Senin (10/2/2025).
Baginya yang sudah bekerja selama 11 tahun, keputusan perusahaan untuk melakukan PHK menjadi pukulan yang besar. Dia mengaku mengetahui jika efiensi anggaran ini untuk memuluskan program MBG. Namun, sangat disayangkan jika efisiensi ini justru berakibat PHK bagi sejumlah karyawan.
“Ketika pagi hari bapak berhasil memberikan makanan gratis dan bergizi untuk anak tapi ketika mereka pulang ke rumah mereka dapati orang tua mereka tidak bisa memberikan makan siang dan makan malam yang layak karena di PHK, harus dirumahkan karena efisiensi yang telah bapak lakukan,” ucapnya.
Nasib tenaga honorer di berbagai instansi kini semakin tidak menentu. Dengan pemangkasan anggaran yang terus berlanjut, kekhawatiran terhadap masa depan mereka semakin besar. Banyak pihak berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan kembali kebijakan ini.
Hal ini mengingat dampaknya yang luas terhadap pekerja dan keluarganya. Efisiensi anggaran seharusnya tidak dilakukan dengan mengorbankan mata pencaharian ribuan tenaga honorer yang telah berkontribusi bagi pelayanan publik di Indonesia. (*)