Karan
ganyar (17/2/2021) : Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi memberi info bahwa saat ini Kraton Yogyakarta bersama Paniradya Kaistimewan sedang menata Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat seperti dahulu dibangun oleh Hamengku Buwono I.
Terkait itulah maka GKR Mangkubumi berharap pengembangan Situs Perjanjian Giyanti selaras dengan penataan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut.
“Tentang pengembangan situs akan kita bahas bersama dengan Pemda Karanganyar, tidak harus mewah tapi indah. Terpenting situs ini menjadi wahana belajar sejarah bagi masyarkat tentang Perjanjian Giyanti,” kata GKR Mangkubumi.
Situs Perjanjian Giyanti berada di Dusun Kerten, Kelurahan Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah. Akhir pekan lalu (13/2/2021) GKR Mangkubumi berkunjung ke situs itu untuk memperingati 266 tahun Perjanjian Giyanti. Untuk pertama kalinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat bersama Paniradya Kaistimewan DIY dan Sekber Keistimewaan DIY ikut ‘nyawiji’ dalam peringatan tersebut. Keluarga Kraton Yogyakarta yang hadir yaitu Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi (putri Sulung Sultan HB X) dan Gusti Kanjeng Ratu Condrokirono (putri kedua). Turut mendampingi GKR Mangkubumi, Paniradya Pati Kaistimewan Aris Eko Nugroho dan Koordinator Sekber Keistimewaan DIY Widihasto Wasana Putra.
Rombongan dari Yogyakarta disambut oleh Bupati Karanganyar Juliyatmono didampingi Lurah Jantiharjo Agus Cahyono dan warga setempat.
Di sela acara peringatan dilakukan kirab tumpeng, pembacaan gegurian, doa dan penanaman Pohon Sawo Kecik di area situs oleh GKR Mangkubumi dan bupati.
GKR Mangkubumi mengatakan Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) merupakan peristiwa sejarah yang sangat penting karena berisi pembagian wilayah Kerajaan Mataram Islam yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. “Dalam perjanjian itu, wilayah nagari Ngayogyakarta Hadiningrat tidak besar. Kita menyebutnya hanya ‘sak megaring payung’,” ujar GKR Mangkubumi saat memberikan sambutan.
Menurut dia, agar generasi penerus tidak kehilangan pengetahuan sejarah (kepaten obor) tentang peristiwa tersebut (Perjanjian Giyanti), maka perlu upaya bersama untuk melestarikannya. Baik pengembangan situs/tempat Perjanjian Giyanti maupun pengetahuan yang bisa menjadi rujukan para generasi muda belajar sejarah Perjanjian Giyanti.
Monumen Perjanjian Giyanti atau Situs Giyanti merupakan suatu monumen sejarah yang sangat monumental yang menandai pembagian wilayah Kerajaan Mataram Islam menjadi dua, yakni Surakarta dan Yogjakarta (Kasunanan dan Kasultanan) pada zaman pemerintahan Pakubuwono III sekitar tahun 1755.
Perjanjian Giyanti 1755 adalah kesepakatan antara VOC, pihak Mataram (diwakili oleh Pakubuwono III), dan kelompok Pangeran Mangkubumi. Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwono III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.
Berdasarkan perundingan 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Pakubuwono III maka pada 13 Februari 1755 ditandatangani ‘Perjanjian di Giyanti’ yang kurang lebih poin-poinnya, seperti dikemukakan Soedarisman Poerwokoesoemo, sebagai berikut:
Pasal 1 : Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah di atas separo dari Kerajaan Mataram, yang diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Pasal 2 : Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan Kumpeni dengan rakyat Kasultanan.
Pasal 3 : Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur.
Pasal 4 : Sri Sultan tidak akan mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapat kanper setujuandari Kumpeni.
Pasal 5 : Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang selama dalam peperangan memihak Kumpeni.
Pasal 6 : Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran, yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kumpeni dalam Contract-nya pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000 real tiap tahunnya.
Pasal 7 : Sri Sultan akan memberi bantuan pada Sri Sunan Paku Buwono III sewaktu-waktu diperlukan.
Pasal 8 : Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
Pasal 9 : Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746,1749.
Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Parwa Budaya Kasultanan Ngayogyakarta mengungkapkan kedepan siap bersama-sama masyarakat setempat dan pemerintah kabupaten Karangayar saling melengkapi guna mengembangkan situs Perjanjian Giyanti menjadi lebih indah lagi dilengkapi berbagai literasi pendukung sebagai salah satu tujuan wisata sejarah.
Terkait penataan situs tersebut, Paniradya Keistimewaan Yogyakarta memang sedang menyusun konsepnya. Banyak obyek berkaitan sedang diinventarisasi. Penataannya akan disesuaikan cita-cita Sri Sultan HB I.
“Enggak perlu (dibangun) cantik. Tapi harus indah. Artinya, masyarakat paham sejarah. Enggak perlu mewah, tapi harus hidup. Mereka yang kesini (situs) itu belajar. Supaya kita enggak kepaten obor. Harus tahu asal usul kita siapa, darimana dan sejarah enggak boleh dilupakan,” kata Penghageng. (*)