5 Budaya Khas NTT, dari Kuliner Hingga Bahasa

Bagikan

5 Budaya Khas NTT, dari Kuliner Hingga Bahasa
Se’i Sapi, Foto: Istimewa

Jakarta (10/6/2023): Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tak hanya memiliki keindahan alam yang menawan dan eksotis saja, tetapi salah satu provinsi di Indonesia ini juga memiliki beragam budaya yang tidak kalah menarik dengan keindahan alamnya. Provinsi yang dikenal dengan Pulau Komodo ini memiliki budaya khas, mulai dari tradisi kuliner, upacara adat, kesenian, hingga kebahasaan. Lantas, apa saja budaya khas dari NTT?

Dilansir dari laman Direktorat SMP Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), berikut ini lima budaya khas dari NTT.

  1. Se’i, Daging Asap Khas Rote

Pengasapan adalah salah satu teknik memasak yang sudah sejak lama diterapkan oleh nenek moyang masyarakat NTT. Cara masak ini untuk mempertahankan kualitas daging sapi.

Se’i adalah salah satu olahan daging sapi dengan cara pengasapan yang merupakan hasil olahan khas dari salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yaitu Kabupaten Rote Ndao. Se’i sendiri berasal dari bahasa Rote yang artinya daging disayat dalam ukuran kecil memanjang, lalu diasapi dengan bara api hingga matang. Makanan khas Suku Rote ini kemudian merambah selera masyarakat NTT.

Produk daging se’i memiliki keunikan dan spesifikasi, baik aroma, warnanya yang merah, maupun teksturnya yang empuk dan rasanya yang lezat.

  1. Aksara Lota

Selain makanan khas, NTT juga memiliki aksara asli bernama aksara Lota yang berasal dari Kabupaten Ende, Pulau Flores, dan pengguna aksara Lota terbesar di masa lalu adalah masyarakat etnis Ende yang beragama Islam.

Aksara Lota merupakan turunan langsung dari aksara Bugis. Berdasarkan catatan sejarah, aksara Lota masuk ke Ende sekitar abad ke-16, semasa Pemerintahan Kerajaan Goa XIV, I Mangngarangi Daeng Manrabia yang bergelar Sultan Alaudin (1593 – 1639).

Kata Lota berasal dari kata lontar. Dalam aksara Lota Ende terdapat delapan aksara yang tidak ada dalam aksara Bugis, yaitu bha, dha, fa, gha, mba, nda, ngga, dan rha. Sebaliknya, ada enam aksara Bugis yang tidak ada pada aksara Lota Ende, yakni ca, ngka, mpa, nra, nyca, dan nya.

  1. Kesenian Tari Bonet
Baca Juga :  Di Tengah Pandemi Covid-19, Harris Hotel & Conventions Ciumbuleuit Bandung Tetap Optimis dan Semangat
5 Budaya Khas NTT, dari Kuliner Hingga Bahasa
Tari Bonet, Foto: Istimewa

Tari Bonet menjadi salah satu tarian yang selalu hadir dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat komunal dan berkaitan dengan adat istiadat serta Suku Dawan di NTT.

Kesenian tari ini dikenal dengan cirinya yang khas, yaitu bentuk formasi yang melingkar dan juga penggunaan puisi atau pantun yang liriknya mengandung kekayaan khasanah sastra lisan Suku Dawan.

Secara etimologis kata bonet berasal dari rangkaian kata dalam bahasa Dawan, yakni Na Bonet yang artinya mengepung, mengurung, mengelilingi atau melingkari.

  1. Upacara Bijalungu Hiu Paana

Bijalungu hiu paana merupakan sebuah upacara adat yang diselenggarakan warga Wanokaka, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.

Upacara ini dilaksanakan setiap akhir Februari dan tanggalnya ditentukan oleh para Rato (pemimpin spiritual Marapu) dengan melihat tanda-tanda alam serta berdasarkan perhitungan bulan gelap dan bulan terang.

Bijal memiliki makna turun atau pergi. Sedangkan Hiu Paana adalah nama sebuah hutan kecil. Upacara ini dinamakan demikian karena puncak acara tersebut berpusat di kampung Waigali, yang memang dilaksanakan pada hutan tersebut. Dalam upacara ini, masyarakat melakukan tradisi ritual Kabena Kebbo (lempar kerbau) dan ritual Teung (potong kerbau).

  1. Ritus Pasola

Pasola adalah upacara ritual masyarakat yang menganut kepercayaan Marapu di Sumba bagian barat untuk merayakan musim tanam padi.

Pasola merupakan bentuk ritual untuk menghormati Marapu, mohon pengampunan, kemakmuran dan untuk hasil panen yang melimpah. Upacara ini biasanya diselenggarakan dalam bulan Februari di daerah Lamboya dan Kodi, serta pada bulan Maret di daerah Gaura dan Wanukaka.

Perayaan puncak mulai 6-8 hari setelah bulan purnama. Saat itulah pantai bagian selatan menjadi tempat munculnya milyaran cacing nyale yang kecil-kecil. Pemandangan seperti ini menjadi tanda musim pasola dimulai. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait