Jakarta (23/11/2021): Merujuk pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020, bahwa pembangunan di Papua akan menggunakan paradigma dan kerja baru. Pendekatan yang akan digunakan adalah Pendekatan Antropologis, Pendekatan Kesejahteraan, dan Pendekatan Evaluatif. Percepatan pembangunan akan mencakup lima ruang lingkup, yaitu Ekonomi, Infrastruktur, Tata Kelola Pemerintah, dan Lingkungan.
Menindaklanjuti Inpres Nomor 9 Tahun 2020, Tenaga Ahli Utama (TAU) Kantor Staf Presiden Theo Litaay, mewakili Deputi V Jaleswari Pramodhawardani, memimpin audiensi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Papua yang didampingi Asisten II Bidang Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Provinsi Papua, Mohammad Musaad.
Dalam diskusi tersebut turut hadir jajaran Kedeputian Kantor Staf Presiden, BAPPEDA, beserta Setda Provinsi Papua.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Theo Litaay mengatakan, bahwa membangun Papua telah terjadi Vicious Cycle of Poverty.
“Teori lingkaran kemiskinan yang harus kita jawab berada di Papua. Penelitian menyatakan, bahwa tantangan yang terbesar terletak pada soal kesehatan yang berdampak pada pendidikan, SDM dan ekonomi. Peran Pemerintah Pusat dan Daerah adalah untuk memastikan bagaimana program yang dilakukan akan dirasakan atau diterima oleh masyarakat, sebagaimana pidato Bapak Presiden Jokowi bahwa program pembangunan bukan hanya sent, tetapi juga ter-deliver kepada rakyat,” katanya.
Untuk melakukan akselerasi pembangunan di Papua, Theo Litaay menjelaskan, bahwa pendampingan seperti capital building oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dan Lembaga Daerah harus dilakukan, karena pendampingan ini memiliki tujuan agar program yang dirancang mengikuti konteks lokal dan adat di Papua.
Sementara itu, Asisten II Setda Provinsi Papua Mohammad Musaad mengemukakan, ketika Provinsi Papua dipetakan menjadi lima wilayah adat, yakni Saereri, Mamta, Anim Ha, Mee Pago, dan La Pago, maka perencanaan program akan menjadi lebih efektif.
“Setiap wilayah adat memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga program pembangunan juga harus disesuaikan dengan system sosio-kultural,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menekanan bahwa terdapat tiga orientasi pembangunan yang harus dilakukan pada setiap wilayah adat, yaitu Orientasi Pembangunan Manusia, Orientasi Pertumbuhan & Potensi Unggulan, serta Orientasi Pemerataan, Keadilan, dan Kewilayahan.
Pembagian wilayah adat tidak hanya akan memberikan aktualisasi terhadap masyarakat Papua dan budaya Papua saja, tetapi juga dapat mendorong pembangunan yang dilakukan. Indikator pembangunan dengan konteks budaya dan adat dapat membantu Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menentukan prioritas serta rancangan pembangunan jangka panjang. (*)