
Jakarta, Nusantara Info: Di tengah upaya global mengurangi angka perokok, muncul sebuah tren baru yang dianggap lebih “aman”, yakni dengan menggunakan vape atau rokok elektrik.
Dengan berbagai varian rasa, kemasan menarik, dan aroma yang tak menyengat seperti rokok konvensional, vape cepat menarik perhatian, terutama kalangan remaja dan dewasa muda. Tapi, benarkah vape adalah solusi lebih sehat dari rokok biasa?
Apa Itu Vape?
Vape adalah perangkat elektronik yang memanaskan cairan (e-liquid) menjadi uap untuk dihirup. E-liquid ini biasanya mengandung nikotin, propilen glikol, gliserin, dan perasa. Tidak seperti rokok konvensional yang membakar tembakau, vape bekerja dengan sistem pemanasan tanpa pembakaran.
Karena “tidak membakar”, banyak yang menganggap vape lebih aman. Sayangnya, ini adalah kesimpulan yang terlalu dini dan menyesatkan.
Mitos vs Fakta Tentang Vape
Dikutip dari berbagai sumber, berikut adalah mitos dan fakta mengenai vape.
Mitos: Vape tidak berbahaya karena tidak mengandung tar.
Fakta: Benar, vape tidak menghasilkan tar seperti rokok biasa, tetapi masih mengandung nikotin yang adiktif dan berpotensi merusak sistem saraf serta jantung. Beberapa cairan vape juga ditemukan mengandung logam berat dan zat kimia beracun lainnya.
Mitos: Vape membantu berhenti merokok.
Fakta: Beberapa orang memang berhasil berhenti merokok lewat vape, tetapi banyak juga yang justru menjadi pengguna ganda (dual user), yaitu tetap menggunakan rokok dan vape. Ini meningkatkan risiko kesehatan jangka panjang.
Mitos: Vape tidak membahayakan orang di sekitar.
Fakta: Paparan uap vape di ruang tertutup tetap berisiko bagi orang lain, terutama anak-anak dan ibu hamil. WHO menyebutnya sebagai secondhand aerosol, bukan uap air biasa.
Dampak Kesehatan yang Mulai Terungkap
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penggunaan vape dapat menyebabkan:
- Iritasi saluran napas dan paru-paru
- Peningkatan risiko penyakit jantung dan tekanan darah
- Kerusakan DNA dan inflamasi
- Kecanduan nikotin, terutama di usia remaja yang otaknya masih berkembang
Di Amerika Serikat, kasus EVALI (E-cigarette or Vaping Product Use-Associated Lung Injury) sempat mencuat, menyebabkan ratusan orang dirawat karena kerusakan paru-paru akut akibat penggunaan vape.
Vape di Kalangan Remaja: Gaya atau Bahaya?
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah meningkatnya pengguna vape di usia sekolah. Rasa-rasa manis seperti bubble gum, cokelat, atau mangga membuat vape tampak seperti permen, bukan zat adiktif. Padahal, nikotin bisa mengganggu konsentrasi, memengaruhi suasana hati, dan merusak perkembangan otak remaja.
Vape mungkin terlihat “lebih bersih” dari rokok konvensional, tapi bukan berarti aman. Sampai hari ini, belum ada bukti kuat bahwa vape benar-benar bebas risiko jangka panjang. Jika tujuan utama adalah hidup lebih sehat, berhenti dari semua produk nikotin adalah langkah terbaik.
Bagi para orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan, penting untuk memberikan edukasi yang jujur dan berbasis fakta kepada generasi muda bukan sekadar melarang, tapi menjelaskan bahaya tersembunyi di balik uap manis vape.
Vape bukan sekadar alat, tapi pilihan. Dan kesehatan adalah investasi, bukan eksperimen. (*)