Jakarta (5/10/2021): Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri (Litbang Kemendagri) menggelar seminar hasil kajian konflik pertanahan di daerah secara virtual, Senin (4/10/2021).
Seminar tersebut dihelat dalam rangka memperoleh masukan sekaligus menyempurnakan hasil kajian sementara yang telah tersusun, juga untuk memperoleh hasil rekomendasi yang lebih komprehensif sebagai masukan bagi Kemendagri dalam mengatasi persoalan konflik pertanahan di daerah.
Hadir sebagai narasumber dalam acara tersebut, Sekretaris Badan Litbang Kemendagri Kurniasih, Plt. Kepala Puslitbang Administrasi Kewilayahan, Pemerintahan Desa, dan Kependudukan Mohammad Noval, Ketua Tim Kajian, Pejabat Fungsional Peneliti Badan Litbang Kemendagri, Tomo, dan Guru Besar Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Triyuni Sumartono, serta Direktur Pencegahan dan Penanganan Konflik Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Daniel Aditya Jaya.
Dalam paparannya, Sekretaris Badan Litbang Kemendagri Kurniasih mengatakan, bahwa sejak 2016 hingga 2020 Kemendagri telah berperan aktif dalam membantu menyelesaikan konflik pertanahan di Indonesia. Setidaknya, sebanyak 678 kasus konflik pertanahan telah dilakukan fasilitasi. Selain itu, berdasarkan data kasus tersebut Kemendagri juga telah melakukan langkah penyelesaian dengan menindaklanjuti melalui surat kepada Gubernur sebanyak 96 surat serta melakukan rapat fasilitasi di 23 daerah.
“Secara konsisten, Kemendagri senantiasa berkomitmen terhadap penyelesaian berbagai konflik di bidang pertanahan, yakni dengan melakukan kebijakan fasilitiasi dan koordinasi kepada pemerintah daerah agar mampu mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik,” ujar Kurniasih secara virtual.
Kurniasih melanjutkan, konflik pertanahan yang terjadi di Indonesia perlu ditangani dengan cepat. Pasalnya, jika tidak, hal tersebut rentan berdampak buruk dan cenderung merugikan masyarakat serta pelaku usaha di berbagai sektor, yakni ekonomi, sosial, ekologi, dan kepastian hukum.
Tak hanya itu, konflik tersebut juga dapat memicu kurangnya minat investor untuk berinvestasi di Indonesia. Untuk itu, kata dia, Badan Litbang Kemendagri melakukan kajian mengenai konflik pertanahan di daerah guna membantu percepatan penyelesaian atas permasalahan tersebut.
“Melalui kajian ini, diharapkan mampu mengidentifikasi berbagai faktor yang memengaruhi proses penyelesaian konflik serta mengidentifikasi hambatan yang dihadapi dalam penyelesaian konflik di daerah,” katanya.
Sementara itu, Plt. Kepala Puslitbang Administrasi Kewilayahan, Pemerintahan Desa, dan Kependudukan Mohammad Noval mengungkapkan, berdasarkan hasil kajian sementara yang telah dilakukan, jenis konflik pertanahan yang kerap terjadi tersebar pada beberapa area. Di antaranya tanah perkebunan, pertanian, kehutanan, transmigrasi, pertambangan, industri, properti, pesisir, dan aset pemerintah seperti kantor, sarana jalan, bandara, dan lain sebagainya.
Sedangkan aktor atau pihak yang berkonflik relatif beragam kata Noval, antara lain masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan badan hukum termasuk perusahaan swasta, dan badan hukum dengan pemerintah. Ia menambahkan, sejumlah langkah terus dilakukan Kemendagri untuk mengatasi persoalan tersebut, tak terkecuali melalui kajian yang komprehensif.
Ia juga mengapresiasi atas bantuan berbagai pihak yang telah mendukung kelancaran proses kajian. “Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu dari kementerian/lembaga yang telah mendukung kami dengan memberikan data dan informasi dalam pelaksanaan kajian ini,” terangnya.
Di sisi lain, Ketua Tim Kajian, Pejabat Fungsional Peneliti Badan Litbang Kemendagri, Tomo menyampaikan sejumlah faktor pemicu konflik pertanahan di Indonesia diantaranya konflik kepentingan, konflik struktural, konflik nilai, konflik hubungan komunikasi yang kurang baik, serta konflik data yang disebabkan penyediaan data yang berbeda antar institusi terkait konflik pertanahan.
Guna mengatasi masalah tersebut, tim peneliti Badan Litbang Kemendagri telah membuat beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan, yakni akselerasi penanganan konflik, membuat grand design perencanaan penyelesaian konflik pertanahan, membentuk lembaga khusus (ad hoc), serta membuat kebijakan satu data, dan menghilangkan hambatan dalam berkomunikasi.
Selain itu, perlu juga membentuk SOP yang mengatur pengaduan masyarakat, membuat instruksi dari Menteri kepada kepala daerah secara kontinyu melalui satu pintu, memberi dukungan terhadap SDM yang berkompeten dan mendukung dengan angaran. Tak hanya itu, penataan kewenangan dan regulasi juga perlu didukung, serta penyeragaman istilah tipologi konflik pertanahan pada institusi yang menangani konflik pertanahan juga perlu dijalankan.
“Dalam kajian ini perlu juga dilakukan penelitian lanjutan yang mampu mendalami konflik pertanahan persektor, serta mengetahui luasan area dan lokasi di lapangan terkait konflik pertanahan di daerah,” ungkapnya.
Senada dengan rekomendasi kajian, Direktur Pencegahan dan Penanganan Konflik Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Daniel Aditya Jaya mengatakan untuk menyelesaikan konflik pertanahan di daerah sejumlah upaya komprehensif perlu dilakukan berbagai pihak.
Pada bidang kelembagaan, menurut dia dibutuhkan koordinasi yang menyeluruh yang mencakup pembagian peran, tugas, dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya agraria. Sedangkan dalam bidang penyelesaian konflik/sengketa, diperlukan peningkatan efektifitas dan kualitas penyelesaian sengketa pertanahan.
Pada kesempatan tersebut Guru Besar Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Triyuni Sumartono mengapresiasi kajian yang telah dilakukan Badan Litbang Kemendagri. Menurut Triyuni, hasil kajian tersebut telah menghasilkan rekomendasi kebijakan yang layak dan sistematis. Bahkan, menurutnya hasil kajian tersebut perlu ditindaklanjuti.
“Terkait rekomendasi kebijakan, (kajian ini) sangat layak menjadi usulan inisiatif kebijakan yang bersifat breaktrough atau terobosan strategis bagi Kemendagri,” pungkasnya. (*)