
Jakarta, Nusantara Info: Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah dengan janji ambisius menurunkan angka stunting di Indonesia kini menghadapi sorotan tajam. Dirancang untuk memberi makan gratis jutaan pelajar setiap hari, program ini bertujuan memperbaiki status gizi anak, membebaskan mereka dari malnutrisi, serta menekan angka stunting.
Namun, sembilan bulan berjalan, realitas di lapangan menunjukkan berbagai masalah serius, mulai dari distribusi yang tidak merata hingga kasus keracunan massal, menimbulkan pertanyaan besar: Apakah MBG benar-benar solusi jangka panjang atau sekadar proyek politis jangka pendek?
Dikutip dari DW Indonesia, Policy and Advocacy Manager Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Fachrial Kautsar mengatakan bahwa program MBG terkesan terburu-buru.
“Program ini dipaksakan segera jalan karena bagian dari visi dan janji kampanye Presiden Prabowo. Akibatnya, implementasi di lapangan sering bermasalah,” ujarnya.
Menurut Fachrial, masalah MBG muncul mulai dari perencanaan, distribusi, hingga pengawasan di lapangan.
Program MBG Terburu-buru?
Program MBG resmi diberlakukan pada 6 Januari 2025, tiga bulan setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Fachrial menyoroti bahwa MBG menggunakan pendekatan “blanket approach”, diterapkan di semua wilayah tanpa menyesuaikan kebutuhan lokal.
“Tiap daerah punya keunikan masing-masing, kebutuhan masyarakat berbeda, yang semestinya tidak bisa dijawab hanya dengan satu program saja,” katanya.
Pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur berupa Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk mencapai target 82,9 juta penerima manfaat sepanjang tahun 2025. Hingga September 2025, tercatat 9.639 SPPG beroperasi, dengan target 30.000 unit pada akhir tahun.
Namun, distribusi infrastruktur ini tidak sejalan dengan prevalensi stunting. Misalnya, Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan prevalensi stunting tertinggi 35,3%, hanya memiliki 32 SPPG. Sementara Jawa Tengah, dengan prevalensi 20,7%, memiliki 1.285 unit.
Ahli gizi masyarakat, Tan Shot Yen juga menambahkan, bahwa dari ribuan dapur pengelola MBG, hanya 34 dapur yang memiliki Sertifikasi Laik Higienis dan Sanitasi (SLHS),
“Program ini masih terburu-buru. Kenapa kita bicara soal kuantitas tanpa memikirkan kualitas? Dari sekian banyak dapur yang sudah berdiri, berapa yang berjalan sesuai SOP?” terangnya.
Realitas MBG di Lapangan
Target ambisius program MBG seolah menjadi jawaban cepat untuk masalah stunting, tetapi implementasinya menuai banyak keluhan. Di berbagai sekolah, menu monoton, porsi tidak sesuai kebutuhan gizi anak, dan keterlambatan distribusi menjadi persoalan utama.
Kasus keracunan makanan muncul sejak 16 Januari 2025 di Sukoharjo, Jawa Tengah, hanya 10 hari setelah program dimulai. Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 8.649 kasus keracunan sepanjang Januari–September 2025 di seluruh Indonesia.
Salah satu insiden terbesar terjadi pada 24 September 2025 di Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, melibatkan 1.171 siswa SD hingga SMA/SMK, hanya dua hari setelah insiden serupa di lokasi yang sama.
Tan menilai lemahnya kontrol terhadap standar keamanan pangan sebagai penyebab utama. “Keracunan berulang karena prinsip HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) tidak diterapkan. Bahan baku, storage, cara memasak, hingga distribusi harus diperhatikan agar risiko kontaminasi ditekan,” ungkapnya.
Selain keamanan, Tan mengkritisi penggunaan produk Ultra Processed Food (UPF) dalam menu MBG. Konsumsi UPF, menurut studi internasional termasuk publikasi di BioMed Central, berpotensi menurunkan fungsi kognitif anak, meningkatkan risiko obesitas, serta memicu penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi.
Desakan Moratorium Semakin Menguat
Desakan moratorium terhadap MBG muncul dari berbagai kalangan, termasuk LSM, akademisi, dan ekonom. Fachrial menekankan perlunya evaluasi menyeluruh.
“Call to action-nya jelas, yaitu moratorium program MBG. Evaluasi komprehensif hanya bisa dilakukan jika program dihentikan sementara,” tegasnya.
Lebih lanjut Fachrial menjelaskan, bahwa koordinasi lintas sektor dalam MBG masih mengandalkan nota kesepahaman bilateral (MoU) yang tidak mengatur rinci mekanisme antisipasi saat terjadi keracunan. Tanpa moratorium dan evaluasi menyeluruh, risiko yang dihadapi bukan hanya keuangan negara, tetapi juga kesehatan siswa.
Pemerintah: MBG Tetap Berjalan, Evaluasi Terus Dilakukan
Di tengah desakan moratorium, pemerintah menegaskan program MBG tetap berjalan.
“Pemerintah terus melakukan evaluasi dan peningkatan kualitas. Kami bekerja sama dengan dinas terkait untuk memastikan distribusi makanan lebih higienis dan bergizi,” ungkap Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Nanik S. Deyang.
Dirinya menegaskan, bahwa pemerintah memperkuat SOP, memberikan sanksi bagi pelanggar, dan memastikan tenaga dapur memiliki sertifikasi.
Selain itu, BGN juga berkoordinasi dengan dinas pendidikan dan kesehatan di sejumlah provinsi untuk meningkatkan standar kebersihan, gizi, serta memastikan monitoring dan evaluasi berjalan sesuai standar nasional.
Perbaikan Struktural yang Mendesak
Program MBG menyerap Rp335 triliun, hampir setengah dari anggaran pendidikan nasional Rp757,8 triliun, sementara pemerintah memangkas lebih dari Rp300 triliun dari kementerian, lembaga, dan daerah untuk menutup kebutuhan program.
Fachrial menegaskan, investasi besar ini harus diiringi evaluasi berkelanjutan. “Tanpa itu, dana publik bisa habis untuk program yang tidak menjawab masalah struktural gizi anak,” tegasnya.
Efektivitas MBG sangat bergantung pada perencanaan matang, pengawasan akuntabel, dan implementasi sesuai standar. Tanpa perbaikan mendasar, MBG berisiko menjadi proyek politis mahal yang gagal menyelesaikan masalah gizi anak.
Tan menekankan pentingnya tata kelola yang rapi dan pedoman jelas. “Program dengan tujuan baik, tapi pelaksanaannya tidak sesuai, pedomannya acak-adul, tata kelolanya buruk dan tidak akuntabel, itulah yang sedang kita rasakan saat ini,” terangnya.
Program MBG, meski memiliki tujuan mulia, kini menjadi contoh nyata kesenjangan antara janji politik dan implementasi teknis. Ribuan kasus keracunan, distribusi yang tidak merata, serta kualitas dapur pengelola yang rendah menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas dan keberlanjutan program.
Evaluasi menyeluruh, perbaikan SOP, serta penyesuaian menu dengan kebutuhan lokal menjadi langkah penting agar MBG benar-benar menjadi solusi jangka panjang untuk memperbaiki gizi anak Indonesia. (*)