Banyuwangi (25/9/2023): Hubungan harmonis antara agama dan budaya di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, mendapat apresiasi banyak kalangan. Di antaranya dari para tokoh dan akademisi nasional dalam rangkaian kegiatan Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa) di Pendopo Sabha Swagata Blambangan, Jumat (22/9/2023).
“Nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan yang di banyak tempat kerap kali mengalami ketegangan yang berkepanjangan, justru di Banyuwangi mampu didialogkan dan diharmonikan dengan baik. Ini patut menjadi contoh bagi Indonesia,” ungkap Penasehat Ngariksa Lukman Hakim Syaifuddin dikutip dari laman resmi Kabupaten Banyuwangi.
Menteri Agama periode 2014-2019 itu mencontohkan pagelaran Gandrung Sewu yang setiap tahun dihelat di Banyuwangi. Sebagai praktik kebudayaan, seringkali diperhadapkan dengan agama. Namun, di Banyuwangi bisa berjalan harmonis. Riak-riak yang muncul didialogkan dengan baik.
“Saya kira ini adalah bentuk moderasi beragama yang telah terejawantah dengan baik. Tentu saja, ini berkat kesadaran kolektif masyarakatnya sekaligus adanya orkestrasi yang baik dari pemerintah daerahnya,” imbuhnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Oman Fathurrahman. Sebagai pengampu Ngariksa, ia melihat harmoni keagamaan dan kebudayaan di Banyuwangi jauh lebih dalam di sejumlah manuskrip kuno di Banyuwangi. Seperti halnya di Lontar Yusup, Babad Tawangalun hingga teks-teks tasawuf yang ditemukan di ujung timur Jawa ini.
“Dari manuskrip-manuskrip ini kita bisa melihat bagaimana sebenarnya praktik moderasi beragama di Banyuwangi ini bisa terbentuk,” ungkap guru besar filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Salah satu naskah tersebut, lanjut Oman, adalah Bahrul Musyahadah. Naskah tasawuf beraliran Syatariyah tersebut memberikan legitimasi religius bagaimana memandang liyan. Apa yang ada di dunia ini sejatinya adalah reprentasi dari kehendak Tuhan.
“Dari sini, akhirnya muncul rasa saling menghargai. Tidak lantas saling menyalahkan dan menimbulkan permusuhan,” ungkapnya.
Sementara itu, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani mengungkapkan bahwa keagamaan dan kebudayaan merupakan modal besar bagi Banyuwangi. Dua hal tersebut tak bisa diabaikan dalam derap pembangunan.
“Saat ini kami berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayan. Kami mengadaptasi teknologi, menerapkan digitalisasi dan sebagainya. Namun, nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan menjadi nilai dasar dalam melandasi pembangunan tersebut,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Ipuk mengapresiasi upaya dialogis dalam memperkuat praktik keagamaan dan kebudayaan. Menurutnya dua entitas tersebut, merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. “Dalam agama ada praktik budayanya, sedangkan dalam budaya juga ada nilai-nilai spiritualitasnya. Ini harus selaras. Tidak untuk dibentur-benturkan,” tegasnya.
Acara yang merupakan edisi khusus Ngariksa episode 100 itu, juga menggelar Sarasehan Agamawan dan Budayawan. Hadir sejumlah pegiat budaya, tokoh agama hingga para akademisi. Selain Lukman Hakim Syaifuddin dan Oman Fathurrahman, juga hadir Rektor UIN KHAS Jember Prof. Babun Soeharto, Wakil Sekretaris PBNU Ginanjar Syaban, Direktur Center of Reform on Economic Hendri Saparini, serta sejumlah tokoh dan budayawan Banyuwangi. (*)